Cinta yang Hilang


Kehilangan kerap jadi momen yang paling kejam dan khianat. Kekejamannya karena gemar sekali ia merampas apa yang telah susah payah dimiliki dan terlanjur disayangi. Pengkhianat karena ia telah mengingkari makna harfiah dan etimologinya sendiri. Berdasarkan KBBI, hilang (hi.lang): tidak ada lagi; lenyap; tidak kelihatan; tidak ada lagi perasaan (seperti marah, jengkel, suka, duka); tidak dikenang lagi; tidak diingat lagi. Faktanya setelah peristiwa kehilangan, sulit sekali perasaan dan emosi akibat kehilangan itu menguap. Alih-alih melebur menjadi ikhlas, ia malah mengendap di dalam hati seperti terus ingin dikenang. Sungguh kejam!

Perasaan itu juga yang terus aku rasakan setiap mengingat kehilangan selamanya dari Om, Tante, dan sepupuku tercinta. Sepuluh tahun yang lalu, seorang pemuda berusia menjelang 30an dengan setia menjadi tukang antar-jemputku ke sekolah dengan vespa hijau tentara yang berbunyi nyaring. Ia tidak lain adalah omku yang tidak pernah malu memboncengku sampai di depan gerbang sekolah, justru aku yang kadang malu karena deru dan kepulan asap dari knalpotnya mencuri perhatian siswa-siswa yang berbondong-bondong dari pintu utama sekolah.

Saat itu aku masih di tahun pertama sebagai siswa berseragam putih biru yang masuk sekolah saat siang hari, karena harus bergantian menempati ruang kelas dengan kakak tingkat.  Aku selalu was-was saat omku belum juga kembali setelah pamit sebentar yang entah ke mana. Padahal jam analog yang tergantung di tembok putih rumahku telah menunjukkan angka sebelas. Belakangan saat resepsi pernikahannya sukses di gelar di kampung tanpa kehadiranku, aku menjadi tahu bahwa sebelum mengantarku ke sekolah dia mengapeli wanita yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya.

Perempuan yang kupanggil tante itu yang sebenarnya menceritakan padaku. Sementara aku hanya ber-oh saja. Perempuan berambut ikal itu masih muda saat baru dipinang omku. Usianya sebaya Luna Maya, saat itu masih 24 tahun. Aku bahagia dan bersyukur dia pernah ada di kehidupanku. Bagiku, dia seperti kakak dan juga teman yang membimbingku dalam banyak hal.

Ia pernah bekerja sebagai koki di sebuah hotel di Toraja, jadi perihal memasak dia tahu banyak. Aku pertama kali tahu menggoreng nasi dengan telur dadar yang yang dicampur rempah-rempah dari dirinya. Saat itu aku bangga sekali memamerkan kepada orang rumah makanan buatan tanganku. Dan dia terus memujiku secara berlebihan.

Aku tidak ingat bagaimana mulanya seorang yang pemalu dan canggung sepertiku bisa langsung sedemikian akrab dengannya. Kepribadiannya yang supel dan cerewet malah membuatku nyaman dan tidak merasa canggung untuk bahkan mengerjainya yang akan disusul oleh omelan dan nasehat panjangnya. Sejujurnya aku merindukan saat-saat itu.

Bagiku ia seperti kawan yang asyik sekali kutemani bepergian dan bertukar pikiran tentang masalah kewanitaan. Meski saat itu usiaku masih terlalu kecil untuk memahami banyak hal. Terkadang ada rasa jengkel yang berkecamuk di dadaku karena kebawelannya kerap menyaingi ibuku, tapi kesyukuranku akan hadirnya menempati kamar di rumahku lebih besar dari perasaan negatifku.

Menjelang kelahiran pertamanya, ia pulang ke rumah orangtuanya di Luwu. Sayangnya, bayinya gagal diselamatkan. Beberapa waktu kemudian ia kembali mengandung, saat itu omku sudah memulai pelayarannya. Ia meninggalkan separuh jiwanya di rumahku, sementara aku sendiri sudah tidak diantar jemput lagi karena sudah masuk pagi hari. Persalinan tanteku kembali dilakukan di kampung dan bayi perempuan februari itu berhasil menghirup udara segar lewat persalinan normal. Sayang, sepupu kecilku itu sering sakit-sakitan dan belum bisa berjalan padahal usianya hampir menginjak dua tahun. Keduanya kembali tinggal di rumahku. Aku selalu terkenang dengan deru khas Panther di subuh hari saat ramadan yang mengantar keduanya dari Luwu.

Orang-orang di rumahku selalu ceria dengan kehadiran sepupu kecilku itu. Bapakku selalu mengajarinya berjalan sambil memegang kedua lengannya. Ibuku selalu memanggilkan tukang urut untuk memijat kedua kakinya dengan maksud agar segera berjalan. Aku dan kedua saudaraku selalu menggendongnya, mengajak bermain, membedaki selepas ia mandi, dan suatu waktu mengganggunya karena tampak terlalu serius. 

Dalam penantian kepulangan omku dari mengarungi lautan, tanteku selalu memasang harapan  dan menggelar doa yang saat kuingat selalu membuatku sedih. Aku selalu terkenang nada khas ponsel Nokianya yang bila berbunyi pasti tanteku akan berbicara sampai berjam-jam. Omku sudah beberapa kali pulang, saat ia berada di rumah aku merasa  aura kebapakannya menajam. Pernah ia memarahiku karena aku begadang menonton “Charlie and the Chocolate Factory” sampai pukul satu padahal esok harus ke sekolah.

Suatu waktu dalam keadaan yang tak pernah terduga, omku pulang. Badannya terserang demam dan suatu penyakit menjangkitinya. Sejak hari itu, ia tidak lagi pergi berlayar dan terus berbaring di ranjang rumahku.

Aku lupa berapa bulan tepatnya ia terus terbaring lemah sampai tanteku yang mengurusnya menjadi kehilangan berat badan. Kondisi Omku terus menurun dan rumah sakit tak pernah memberikan pelayanan yang memuaskan saat kami meminta ia di opname. Tanteku kemudian terserang sakit juga, penyakit aneh yang entah apa.

Di suatu rabu malam, tanteku kerasukan dan memelototiku dengan tajam. Ia mengamuk dan lepas kendali sampai seorang tetangga mengusir roh halus yang merasukinya. Selepas itu, kondisinya justru jauh lebih buruk dari suami yang dirawatnya. Ia dipulangkan ke Luwu dan beberapa waktu kemudian, saudara tanteku mengabarkan kepergian selamanya dari orang yang kusayangi itu. Orangtuaku langsung berangkat saat itu juga. Omku yang sakit memaksa pergi ke kampung saat malam mulai menggulita, ia berkeras meski dilarang. Dari kedua matanya kulihat air yang mengalir dan ungkapan penyesalan bernada lirih.

Di suatu subuh saat shalat baru akan ditunaikan, bapak membangunkanku. Aku terkejut dengan perkataan bapak: omku telah pergi. Aku sama tak mampunya membendung air mata dari kedua mataku seperti kehilangan tanteku. Belum lagi semalam sebelum kepergiannya, aku mengeluhkan dalam hati sikap omku yang rewel dan ingin terus ditemani oleh nenekku.

Aku tidak suka saat ia mengeraskan suara meminta diobati atau diambilkan makanan saat tengah malam. Beruntung, adik tanteku yang juga kuakrabi itu melayaninya tanpa keluhan. Aku tak bisa membayangkan jika berada di posisinya.

Rumahku masih berbau kapur barus saat jenazah omku di bawa ke Luwu. Disemayamkan tepat di samping peristirahatan Kakek. Jauh dari kuburan istri tercintanya. Rumahku mendadak dipenuhi kesedihan dan beberapa jumat setelahnya, keluargaku selalu datang berkumpul untuk mengirim doa dan yasinan.

Saat kesedihan itu perlahan sirna, sebuah hentakan lain datang menghampiri. Ponselku berdering sekitar jam 2 dini hari. Dengan suara berat dan mata setengah tertutup aku menyapa orang di seberang. Sontak aku terbelalak dan sadar. Tidak bisa berkata apa-apa selain segera loncat dari ranjang dan membangunkan ibu di kamarnya di lantai bawah. Kedua orang yang kutemani tidur pun terbangun karena kepanikanku. Sepupu kecilku juga ikut menyusul ibu bapaknya. Adik tanteku di ujung telepon terus menangis sementara aku tak mampu lagi mengontrol perasaan.

Pulang kampung menjadi hal yang menyedihkan karena rumah nenek yang sebelumnya di tempati omku sekeluarga kini menjadi sarang laba-laba. Ia hanya menyisakan kenangan yang pernah hidup dan tawa-tawa yang pernah mengisi sekat-sekat kayu yang kini rapuh. Aku tidak pernah melihat jenazah dan kuburan tante dan sepupu kecilku. Tapi doaku tidak pernah putus kepadanya. Hari ini saat aku kembali membuka kenangan tentang mereka, rasa itu masih sama. Kerinduan itu masih ada. Sebuah lagu kenangan yang paling kuingat bersama tanteku:
hilang semua janji
semua mimpi-mimpi indah
hancur hati ini melihat semua ini
lenyap telah lenyap
kebahagiaan di hati
ku hanya bisa menangisi semua ini
hancur hati ini melihat kau telah pergi
langit menjadi gelap berkelabu
menyelimuti hatiku
mengubah seluruh hidupku
mengapa semua jadi begini
perpisahan yang terjadi
di antara kita berdua
ku akan menanti sebuah keajaiban
yang membuat kita bisa bersama kembali
Semua pergi dan menghilang begitu cepat dan dekat. Seperti nasehat yang sering kudengar saat ceramah takziyah, maut tak pernah menunggumu siap. Doaku untuk kalian selalu mengiringi <3 3="" p="">



-Ditulis dengan perasaan rapuh dan air mata yang tak tertahan-

Gambar: Pinterest
Lagu: Cinta yang hilang (OST. Cinderella)

#7DaysKF

0 komentar